Adidaya Initiative Ungkap Sulitnya Produksi Baterai dari Nikel

    Adidaya Initiative Ungkap Sulitnya Produksi Baterai dari Nikel
    Produksi nikel di Indonesia tahun 2019 yang masih berfokus pada produksi untuk baterai Li-Ion

    SURABAYA – Energi yang dihasilkan oleh alam, seperti matahari yang perlu disimpan dalam bentuk baterai yang memiliki kapasitas tinggi, seperti baterai Li-ion agar tetap dapat digunakan kapan saja. Indonesia sebagai salah satu negara penghasil nikel kebaikan masih kesulitan dalam mengolah logam ini menjadi produk baterai siap pakai.

    Sekretaris Adidaya Intiative, Naufal Hanif Hawari ST mengungkapkan, Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan penghasil nikel paling banyak di dunia mengalahkan Rusia. “Sebuah keuntungan bagi negara kita mengingat 51 persen produksi baterai merupakan katoda yang dapat berupa Nikel, ” tulisnya, Sabtu (27/8/2022).

    Indonesia sebagai salah satu negara penghasil nikel terbesar yang digunakan sebagai baterai katoda

    Namun, berdasarkan data tahun 2019, produksi nikel di Indonesia masih digunakan untuk produksi baja anti karat, sedangkan produksi baterai belum dilakukan. “Untuk produksi baterai, Indonesia baru membangun smelter nikel di daerah Gresik, Jawa Timur yang diperkirakan menjadi yang terbesar di dunia, ” ujar Naufal dalam acara webinar hasil kerja sama Mahagana ITS dengan Adidaya Intiative.

    Menurutnya, salah satu permasalahan utama terkait produksi nikel untuk baterai di Indonesia adalah cara pemurnian yang berbeda dengan produksi baja anti karat. Pemurnian nikel yang dibutuhkan untuk menjadi bahan baku pembuatan baterai mencapai 99, 9 persen atau nikel murni. “Nikel yang ada di Indonesia adalah laterit yang letaknya dangkal sehingga mudah ditambang tetapi mengandung banyak kandungan lain sehingga sulit dimurnikan, ” tulisnya.

    Metode yang perlu dilakukan untuk pemurnian tersebut adalah High-pressure Acid Leaching (HPAL). Pada prinsipnya, proses ini dilakukan dengan menggunakan tekanan tinggi dan mineral dengan asam sulfat secara kimiawi. “Metode ini tidak mudah, diperlukan energi listrik dan sumber daya lain yang sangat banyak, seperti asam sulfat hingga 100 ton perharinya, ” tulis mengisi webinar bertajuk Pro-Kontra Produk Nikel untuk Akselerasi EBT,   24 Juli lalu.

    Metode High-pressure Acid Leaching (HPAL) untuk pemurnian nikel agar dapat digunakan sebagai bahan baku utama baterai Li-Ion

    Indonesia Battery Corporation (IBC) sendiri membagi 3 tahap utama dalam produksi baterai Li-Ion di Indonesia. Tahap pertama berfokus pada pembangunan pabrik, tahap kedua berfokus pada produksi untuk skala domestik, dan tahap terakhir berfokus pada produksi untuk skala global dan daur ulang. “daur ulang ini yang sering terlupakan, sangat penting bagi kami, Indonesia pun harus bisa melakukannya, ” tegas Mahasiswa Pascasarjana Ilmu dan Teknik Material tersebut.

    Nauf mengingatkan, kedepannya Indonesia akan menghadapi pasar nikel yang sangat besar kebutuhannya yang sangat banyak kita termasuk penyedia nikel terbanyak. “Harapannya, nilai ekonomi nikel kita dapat menjadi lebih tinggi tidak seperti sekarang yang hanya sebatas baja anti karat, ” tutupnya. (*)

    Wartawan: Faqih Ulumuddin

    Redaktur: Muhammad Miftah Fakhrizal

    surabaya
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    UKM Expo Kembali Digelar Luring

    Artikel Berikutnya

    PIKMEN FEB UNAIR, Momen Pererat Kebersamaan...

    Berita terkait